Ketika Menjadi Penumpang Bis Umum


Sumber: Info.bekasi.co.id

Beberapa minggu lalu, saat saya ada urusan ke Jakarta untuk keperluan ambil data skripsi di tempat magang saya yang dulu, saya memilih menggunakan tranpostasi bis. Dengan alasan, saya belum familiar untuk menggunakan kereta api. Apalagi tidak ada kereta yang langsung menuju Tangerang dari stasiun yang ada di Jogja.

Kenapa di Tangerang padahal saya ada kepentingannya di Jakarta?

Karena di Tangerang saya bisa memiliki tempat singgah. Tepatnya di kontrakan bapak saya yang bekerja di Tangerang. Butuh waktu beberapa minggu untuk bisa menyelesaikan urusan di Jakarta.

Ke Jakartanya gimana? Kan jauh?

Iya. Jadi saya milih nglaju  Tangerang-Jakarta menggunakan KRL.

Sebenarnya bukan untuk menceritakan pengalaman saya ketika di Jakarta atau pengalaman menaiki KRL, sih. Mungkin dua hal itu akan saya ceritakan di kesempatan berikutnya.

Begini, ayah saya bukan asli Tangerang. Hanya mencari nafkah disana. Beliau asli Majalengka. Ibu dan adik-adik saya pun sudah menetap di Majalengka, sehingga setiap bulan atau setiap libur panjang, Bapak pasti menyempatkan diri untuk pulang ke Majalengka.

Saat ada saya di sana, diajaklah saya ke Majalengka. Mumpung saya ada.

Seperti yang sudah sering Bapak bilang, kalau kami akan menggunakan bis menuju Majalengka. Bis memang kendaraan umum yang sudah familiar di keluarga kami.

Dari Tangerang, kami naik bis jurusan Bekasi di Bitung. Baru kemudian kami turun di Bekasi Timur untuk bisa menaiki bis yang jalurnya melewati Majalengka. Kebetulan kami bisa berhenti di dekat rumah.

Saya pikir, bepergian llintas kota menggunakan bis umum seperti itu, bisa menyaksikan kehidupan sosial yang bisa dibilang... miris. Apalagi jika kota yang diliwati masih dalam lingkungan perkotaan seperti Jabodetabek hingga Cirebon. Hamparan sawah atau hutan baru bisa dilihat ketika kita melewati jalan tol.

Dari Tangerang melewati Jakarta, jangankan sampai Jakarta. Saat baru naik Bis di Bitung saja, sudah mengalami yang namanya panas-panasan (saat sedang tidak hujan) dan terburu-buru agar tidak tertinggal bis. Jangan harap dapat bis dengan kualitas yang oke. Yang penting Bis sesuai jurusan yang bisa dengan cepat mengangkut kita.

Sticker AC di bagian luar bis, juga belum tentu menjamin rasa nyaman akan kesejukan setelah bertempur dengan cuaca panas di luar. Tak jarang ada AC bis yang udah rusak. Kalau nggak mati, ya gak bisa ditutup (yang udah pernah naik bis AC pasti udan tahu bentuk AC bis kaya gimana).

Tempat duduk? Ya kalau dapet bis yang masih lumayan bagus, ya bisa dapet tempat duduk yang bagus. Empuk. Enak. Sandarannya tidak jebol.

Jadi penumpang bis harus berani dan bisa luwes. Itu yang saya dengar dari pekikan kenek bur, yang dengan sigap membantu penumpang naik ke bus. Mencarikan tempat duduk. Hingga menaiki ongkos.
Kesederhanaan kenek dan kesigapan kenek bis bisa kita lihat ketika di dalam.

Lalu pemandangan di luar?

Ya, kendaraan lain yang turut melintas. Sesama bis, taksi, mobil pribadi, truk, motor...

Selain itu?

Gedung. Kalau sudah masuk ke area Jakarta. Atau restoran cepat saji ketika mampir di rest area untuk menjemput penumpang.

Pom bensin.

Lalu... pedagang keliling menjajakan air minum dingin, tahu sumedang, tisu, dll, di pinggir jalan menuju gerbang tol. Mereka menjajakan hal yang harganya tak seberapa pada orang-orang yang ada di dalam mobil. Pepanasan... entah berapa keuntungan mereka yang saya yakin, hanya cukup untuk bertahan hidup perkotaan.

Oh, tak lupa di salam bis pun ada pedagang keliling dengan dagangan yang mirip-mirip. Air minum dingin,  tahu sumedang, kacang bawang, dan lontong.

Dari dulu saya masih kecil sampai sekarang, dagangan itu masih menjadi primadona di kalangan penikmat bis.

Tak pernah absen adalah pengamen. Saya selalu diingatkan Bapak untuk sedia uang receh untuk pengamen tiap kali naik bis. Mereka masih tetap eksis. Lagi, saya juga yakin seberapapun yang mereka hasilkan hanya cukup untuk bertahan hidup. Bukan kesejahteraan.

Kadang suara pengamen bisa merdu, pas-pas an, hingga merdu banget. Modal kricik-kricik dari lempengan beberapa tutup botol (saya tahu namanya apa) hingga gitar yamaha yang udah lusuh, entah asli atau bukan. Yang penting bisa mengiringi mereka bernyanyi.

Sumber: feed.merdeka.com

Biasanya tak jarang sebelum bernyanyi, mereka mengucapkan beberapa kalimat pembuka, sambutan dan ijin untuk ‘mengganggu’ pendengaran penumpang. Setelahnya, mau jelek atau bagus, didengar atau tidak, mereka tetap bernyanyi.

Oh, iya... biasanya mereka adalah anak muda. Tapi, waktu itu saya dibuat miris bercampur kasihan. Dua pengamen yang sempat satu bis dengan saya, mereka adalah ibu-ibu muda sambil membawa serta anak mereka yang masih balita. Mungkin masih sekitar umur satu tahun-an.

Adik-adik kecil itu digendong, kadang merengek karena panas, atau merasa kurang nyaman ketika ibunya menyanyi. Waktu itu, ibu-ibu itu menggunakan okulele, sementara yang satunya menggunakan tape kecil yang memutar instrumental lagu dangdut yang sedang hits.

Mereka PD dengan segala keribetannya dimana mereka harus menjaga keseimbangan berdiri karena perjalanan bis tersendat sambil menggendong anak, tapi harus tetap bisa bernyayi dan memainkan alat musik pengiringnya.

Melihat fenomena itu, apakah terpikirkan oleh pemerintah?  Negara ini begitu luas  hingga penampakan pengamen membawa anak, ternyata ada. Kesejahteraan ibu dan balita, masih perlu perhatian besar, bukan?

Saya berharap anak-anak yang dibawa ngamen mendapatkan asupan makanan yang cukup dan hak-hak mereka sebagai anak-anak terpenuhi. Semoga,  hanya hari itu saja mereka diajak bermain. Ah, tapi saya juga lupa, keadaan yang memaksa mereka harus ikut. Mungkin juga mereka tidak ada yang menjaga ketika orang tua mereka mencari uang dengan cara mengamen.

Tiga lagu menjadi rata-rata lagu yang dinyanyikan para pengamen.

Begitu lagu selesai, mereka akan berkata-kata sebagai penutup. Salam perpisahan. Ucapan terima kasih. Bahkan sampai ucapan doa, agar para penumpang bisa sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

Ada satu pernyataan yang saya dapat dari  salah satu pengamen.

“Yang kami jual bukan suara maupun seni. Tapi belas kasihan.”

Sebuah ungkapan yang saya pikir mewakili apa yang para pengamen rasakan. Keadaan yang saya tidak tahu penyebabny apa, yang membuat mereka melakoni hal itu untuk mencari seperak logam 500an atau selembar uang 2000an. Kemudian terkumpul untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Tak menentu dan tak seberapa.

Bagi orang-orang yang seperti mereka, bisa makan dan tidak kelaparan menjadi hal yang luar biasa. Ditambah penghasilan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang dengan harga yang tak seberapa, yang penting bisa dipakai.


Kesejahteraan hidup pasti tidak berusaha mereka raih. Dalam angan, iya. Siapa yang tidak ingin sejahtera hidupnya. Namun dengan keadaan yang seperti mereka, menjadi rakyat pinggiran yang menerima ‘belas kasihan’ dari orang lain harus mereka alami.

Cukup random yang saya pikirkan. Itu lah yang ada dibenak saya sepanjang jalan dari Bitung menuju Bekasi waktu itu. Suasana di dalam bis, pedagang keliling, dan pengamen yang keluar masuk bis mendorong saya untuk berpikir.

Keadaan... lebih tepatnya mereka yang mencari uang dijalan, apa sempat dipikirkan oleh pemerintah? Setidaknya solusi untuk mengatasinya... maksud saya, mulai tersedianya lapangan pekerjaan untuk mereka yang lebih layak disebut sebagai pekerjaan daripada pengamen. Yang tiap hari nomaden dari satu bis ke bis lain dengan hasil yang tak seberapa...

Pada tulisan ini... saya hanya ingin menuangkan apa yang saya pikirkan. Saya tahu ini tak terstruktur, atau bahkan alurnya pun amburadul...

Bersambung.
Yogyakarta, 14 April 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Formasi Pie Susu Khas Bali Ternyata Blasteran Hongkong-Portugis

5 Bisnis Kreatif Ala Mahasiswi

Meski Pahit, Mengkudu Ternyata Bisa Membantu Meningkatkan Stamina Tubuh