"Hajat" 1000 Hari Bagian 2
Di tulisan sebelumnya, rangkaian
acara hajat 1000 berakhir di hari pertama yang lebih fokus untuk tonjokkan dan menyiapkan kudapan untuk
tamu-tamu. Di hari kedua, tidak jauh berbeda dengan hari pertama. Hanya saja,
di hari kedua tamu yang datang untuk nyumbang
lebih banyak. Bisa dikatakan sebagai puncak hari dimana tamu yang nyumbang sedang banyak-banyaknya.
Setelah ibu-ibu selesai memasak
lauk untuk tonjokkan, mereka sedikit lego
kegiatannya. Ada yang pulang dulu untuk mengurus rumah tangga masing-masing. Tapi
pulangnya tetap bergantian. Pemilik hajat tidak ditinggal sendirian. Biasanya
sekitar jam 9 pagi, tamu yang nyumbang mulai berdatangan.
Oh, iya. Kalau kemarin, untuk
minum para tamu, keluarga kami masih menghidangkan teh manis hangat. Jadi, air
panas harus tetap on. Pun orang yang
bertugas untuk membuatkan minum.
Pemilik hajat tentu yang harus
menyambut para tamu. Ngajak ngobrol ke sana kemari. Dan pintar-pintarnya bersikap
supaya pembicaraan garing, sih. Hehe. Apalagi para tamu itu juga akan terus
berdatangan sampai malam. Kalau alm/ almh
memiliki banyak relasi dan koneksi yang luas, bisa dipastikan akan banyak
sekali pesumbang yang datang.
Karena di hari ketiga nanti
menjadi acara puncak seperti pengajian, pemasangan nisan di makam, kenduri, dan “makan-makan”, maka di hari kedua beberapa bapak-bapak
datang. Mereka membantu mempersiapkan itu dan membawakan berlusin-lusin piring, sendok, dan gelas
milik kelompok RT.
Kalau di desa, setiap RT memiliki
anggaran untuk membeli perabot macam alat makan. Hal itu untuk membantu atau
meringankan warganya ketika sedang hajat besar. Untuk urusan makan besar, belum sama sekali tidak menggunakan jasa katering. Itu lah tugas ibu-ibu yang rewang. Meski katering dianggap lebih praktis, tetapi rewang masing menjadi pilihan utama di desa-desa daripada katering.
Perabotan itu bisa dipinjam
secara cuma-cuma, asal jelas penggunaannyadan dirawat dengan baik. Mereka yang
meminjam pun jugawajib mengganti jika ada yang rusak atau hilang. Piring-piring
itu semua piring keramik, kalau luput bisa
saja pecah. Sendok juga rawan tertukar dengan sendok milik pribadi meskipun
sudah ditandai.
Prinsipnya sih kalau di desa itu gotong royong dan tanggung jawab.
Sudah pernah aku katakan kan ya,
kalau yang rewang sama sekali tdak
dibayar? Mereka itungannya juga sudah melauangkan waktu berhari-hari untuk
membantu dengan sukarela. Namun hal itu menjadi tradisi turun temurun yang akan
diingat sepanjang masa. Jika dilestarikan tentunya. Tata kelola atau istilahnya
managemen acara seperti itu pastinya
juga bisa dikatakan unik. Dikarenakan tidak semua daerah ada tradisi seperti
itu. Bahkan EO jaman sekarang yang sedang tren, biasanya juga hanya mengurus
acara puncak. Tidak sampai ke printilan-printilannya. Tidak sederhana
teman-teman.
Di masyarakat Jawa, setiap ada
hajatan besar, setidaknya acara itu terselenggara minimal tiga hari. Kalau pernikahan
bisa sampai seminggu. Tapi menurutku, lamanya hajat yang saat ini dilaksanakan
sudah dipangkas waktunya. Tidak seperti ketika saya masih kecil. Bahkan kalau
dulu, bisa dikatakan lebih rempong. He he. Belum ada yang bisa dipraktiskan
juga kan? Kecuali kalau ulih-ulih
pesumbang berupa telur ayam mentah 15 butir yang tidak perlu memasak
banyak.
Komentar
Posting Komentar