"Hajat" 1000 Hari

Gambar ini tida dimaksudkan sebagai penanda konten horor, apalagi mistis. :)


            Hai, aku kembali. Kali ini, aku akan bercerita cukup panjang. Aku nulis tulisan ini disaat kampusku mengadakan konser dengan syarat IPK yang mengundang salah satu band papan atas dari ibukota.  Hmm, bahkan konser ini jadi trendi topik di twitter #diesnatalies55UNY.

            Hmm, karena cerita ku ini lumayan panjang. Jadi, kemungkinan akan bersambung di kesempatan selanjutnya.

Harusnya aku ada di sana. Tapi karena keadaan rumah sedang riweuh, aku tidak jadi menonton konser secara gratis itu. Kelas VIP, lagi. IPK menjadi syarat seolah-olah menjadi bukti nyata manfaat IPK yang sesungguhnya. Oke. Mari kita tinggalkan konser.

            Aku ingin bercerita tentang hajatan orang Jawa yang menjadi tradisi turun temurun dan sampai saat ini, di daerah tempat tinggalku masih dilaksanakan dengan tertib. Meski ada beberapa hal yang berubah.
            Jadi, keluargaku baru saja merampungkan acara “entek”e atau pethuk e dari pamanku yang sudah meninggal sekitar tiga tahun yang lalu.
            “Entek” dalam bahasa Indonesia artinya habis.
            “Pethuk” dalam bahasa Indonesia artinya peringatan.
            “e” merupakan bagian dari kata keterangan yang artinya sama dengan “nya” kepemilikan. Misalnya, “Perayaannya” yang artinya perayaan dari ... ... “usahanya” sama dengan “usahane”, “bentuknya” sama dengan “bentuk e”. Wajah e, sendal e, dan semacamnya.

Entek e, dalam konteks ini berarti “habisnya” atau “berakhirnya” peringatan terhadap kematian dari seseorang. Kalau yang baru saja diadakan di keluargaku adalah 1000 Hari setelah meninggalnya pamanku.

 Dalam budaya Jawa, kematian seseorang memang memiliki hari peringatan. Dari mulai tiga harinya atau tujuh harinya, 40 harinya 100 harinya, dan yang terakhir adalah 1000 harinya. Aku lupa maknya setiap peringatan itu. Tetapi diantara peringatan itu, peringatan 1000 hari menjadi peringatan yang paling besar, sehingga bisa disebut sebagai hajat. Atau kalau bahasa jawanya, “gawe” atau semacam kaya hajatan besar.

Mengingat hajatan, tentu persiapanya tidak instan. Apalagi jika dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ada sejak jaman dulu. Turun menurun, dengan tetap menerapkan salah satu tradisi islam disana yaitu pengajian.

Pada acara 1000 Hari ini, menjadi waktunya batu nisan dipasang di atas makam orang yang telah meninggal. Hal itu menjadi kebiasaan atau budaya kami #Jawa Bantul.

Jadi, entek e ini secara kasar bisa dihitung berdasarkan tahun. Ketika ada orang yang meninggal, maka peringatan ini akan diadakan sekitar tiga rahun berikutnya. Sekitar, ya. Jadi, hitungan tahun itu bukan menjadi patokan. Apalagi berdasarkan tanggal kematian. Hajat 1000 Hari ini, biasanya bisa dilakasanakan tidak sama dengan tenggal kematian. Bahkan bisa lebih maju beberapa bulan.

Sesuai namanya, patokannya ada alah hari.

Misal seseorang meninggal tanggal 27 Juni 2017. Peringatan 1000 Harinya bukan 27 Juni 2020, tetapi 1000 hari setelah tanggal 27 Juni 2017. Herannya, hitungn itu bisa dingat dengan betul. Bahkan bisa sekalian dengan tanggalan Jawanya, pon, wage, klwon, legi, pahing.

Saya merasa masuk generasi yang tidak memikirkan hal-hal yang demikian. Apalagi detail hajat itu.

Bagaimana dengan aktivitas di keluarga yang mengadakan hajat ini?
Riweuh.
Cukup padat.
Sibuk.

Bibiku menyiapkan jauh-jauh hari sebelum acara. Mulai dari membeli bahan-bahan makanan untuk diolah sebagai lauk dan bahan-bahan untuk membuat panganan yang biasaya ada ketika hajat seperti ini dilakukan. Seperi, lemper, adrem, sega gurih (semacam nasi uduk), apem, dan sebagainya. Pun dengan bumbu-bumbu masaknya. Memesan daging ayam dan telur, serta satu ekor kambing yang akan disembelih untuk acara puncaknya.

Oh, iya. Termasuk besar berkuintal-kuintal dan kayu bakar.

Eh, btw acara ini biasa dilaksanakan selama tiga hari.

Hari pertama

Kalau di jaman dulu, biasanya bapak-bapak akan datang ke rumah pemilik acara untuk mendirikan tarub semacam tenda di depan rumah. Bangunan tambahan itu digunakan untuk menjamu tamu yang menyumbang. Biasanya biar pemilik acara memiliki ruang yang lebih luas saja sih.

Tapi sekarang., kebanyakan sudah enggak memakai tarub.

Di hari pertama, aktivitas mulai sibuk di bagian dapur. Ibu-ibu yang datang membantu disebut dengan rewang. Kalau secara arti kata sih, rewang artinya teman. Tapi dalam konteks ini, rewang  menjadi semacam orang yang membantu tuan rumah untuk kebutuhan dapur. Mengingat hajatan besar jadi tidak mungkin bagi tuan rumah untuk menyelenggarakan acara ini sendiri.

Bagaimana dengan menyewa EO?

Hehehe... acaraini tidak bisa disamakan dengan acara nikahan. Yang mana, jasa EO atau WO bisa digunakan dengan tetap menjalankan adat Jawa. Ndak gitu. Kalau di daerah tempat tinggalku, sih. Kebiasaan yang dirutunkan sejak jaman dahulu, masih dilaksanakan dengan cukup disiplin.

Oke, lanjut.

Biasanya ibu-ibu atau kaum perempuan yang rewang merupakan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan tuan rumah. Atau tetangga dekat. Kalau tetangga secara letak rumah dekat, tetapi hubungannyat tidak dirasa dekat, maka mereka tidak diminta untuk rewang. Jadi, mereka yang rewang telah dimintai tolong sebelumnya oleh pemilik acara. Dan itu dilakukan tanpa dibayar,lho. Lebih ke pembalasan aja. Atau kalau di Jawa istilahnya nggentekke, yang artinya gantian.
Orang yang rewang biasanya akan balas dibantuk ketika mereka sedang ada hajatan. Jadi, balas budinya bukan dengan nominal. Tapi lebih ke tolong menolong dan saling membentu. Kalau misalnya diminta untuk rewang tapi tidak datang atau suka bolos, biasanyaitu akan dibalas ketika mereka ngadain hajatan, sih.

Hajatan yang dimaksud seperti apa emang?

Ya seperti acara mantu/ pernikahan, tetakan atau sunatan, tingkep atau acara tujuh bulanan ibu hamil, selapanan atau acara 35 hari pertama usia bayi, dan acara perthuk untuk orang meninggal.

Kompleks, gak?

Ya seperti itu, sih, dari dulu. Dan aku masih tinggal di lingkungan yang seperti itu.

Apa yang dilakukan oleh ibu-ibu yang rewang?

Biasanya mereka mulai mempersiapkan bahan untuk memasak lauk untuk esok hari. Esok hari yang dimaksud adalah dan lauk untuk tojokkan. Tonjokkan ini memang kata dasarnya adalah tonjok. Tapi artinya bukan tonjok = memukul. Tapi, kaya semacam peringatan gitu, sih.

Tonjokkan, ini kegiatannya memberikan satu besek nasi beserta lauknya, lengkap kepada orang-orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik hajat. Biasanya dipilih yang masih punya hubungan cukup dekat dan diutamakan yang lebih tua atau yang disegani dan dihormati.  Dikasihnya dihitung per kepala keluarga. Jadi misalnya dalam satu rumah ada dua keluarga, tojokkannya dikasih dua.

Besek merupakan wadah berbentuk kotak dari anyaman bambu dengan ukuran kira-kira 20x20 cm. Isinya bisa cukup untuk satu keluarga. Dalam besek itu berisi nasi 1,5 kg dan lauk. Lauknya biasanya tiga macam yaitu bakmu putih/ kuning, cap jae (seperti karedok), dan sambal kentang. Kalau dulu, biasanya juga ada tumis buncis. Tapi, sebenarnya sesuai keinginan dan kesanggupan pemilik hajat kalau untuk lauk. Tiga macam itu biasanya minimal, bisa lebih.

Yang paling utama adalah daging ayam. Jadi, lauk yang tiga tadi + ayam.

Untuk ayam, dibedain lagi. Jadi, untuk yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dan lebih di”tua”kan atau disegani, mereka akan mendapatkan daging ayam berupa dada menthok. Sedangkan yang lainnya berupa tepongan atau paha atas.

Bisa sampai segitunya, sih, untuk urusan lauk saja. Sayangnya, aku tidak mendapatkan informasi mengenai filosofi tonjokkan maupun tentang lauk itu.

Dari menjelang hingga sore, ibu-ibu akan memasak untuk lauk, adrem, dan membuat lemper.

Lemper yang dibuat akan dipakai untuk suguhan tamu dan kenduri.

Sampai sekitar pukul sembilan malam biasanya, ibu-ibu yang rewang sibuk dengn thethek bengeknya, mulai terlihat sibuk semakin mendekati sore. Kemudian, mereka akan kembali rewang lagi dari dini hari. Mereka yang tidak menginap di rumah pemilik hajat, akan kembali datang sekitar jam tiga pagi. Hal itu karena, tonjokkan biasanya harus sudah mulai diantarkan pagi-pagi sekali di jam sebelum sarapan.

Kalau dulu, orang rewang malah lembur. Bahkan bisa sampai semalam suntuk. Tapi kalau sekarang sudah tidak begitu. Urusan rumah masih bisa diurus oleh ibu-ibu yang rewang.

Selain ibu-ibu rewang, di dini hari (hari ke 2), datang pula tukang adang. Dia adalah orang yang sudah dimintai tolong untuk mengedang atau menanak nasi. Kegiatan itu merupakan teknik menanak nasi secara tradisional dalam jumlah banyak. Ingat, satu besek tonjokkan berisi nasi 1,5 kg dan jumlahnya bisa lebih dari 50 buah. Itu lah mengapa, adang dalam hajatan besar kami.

Tukang adang biasanya juga sudah terlatih. Dari mulai menakar beras yang dimasak hingga berhasil menaruh nasi ke dalam keranjang besar untuk ditata oleh yang rewang di besek.

Dari jam dua pagi, yang rewang fokus mengolah lauk untuk tonjokkan. Mengingat lauk itu bisa basi, sehingga tidak dilakukan pada hari pertama.

Pagi-pagi sekali, sekitar waktu subuh, nasi dan lauk sudah mulai ditata. Kemudian mulai diantarkan sesuai dengan instruksi pemilik hajat, siapa saja yang akan ditonjok. Pemilik hajat biasanya juga meminta pendapat yang rewang, mengenai siapa saja yang  harus ditonjok. Pendapat mereka bisa dijadikan pertimbangan, karena sedikit banyak mereka juga paham silsilah keluarga pemilik hajat dan bagaimana etisnya pembagian tonjokkan itu.

Mereka yang rewang juga mendapatkan jatah itu. Lebih sebagai balasan karena sudah meluangkan waktu untuk membantu pemilik hajat. Hal itu sudah menjadi kebiasaan.

Jadi, bisa dibayangkan kan, kenapa pemilik hajat juga sudah harus sanggup untuk menyelenggarakan acara ini. Butuh biaya yang juga tidak sedikit. Apalagi kalau kerabatnya banyak.

Di hari pertama, memang lebih fokus untuk mengolah tonjokkan itu. Mereka yang ditonjok, biasanya selalu datang ke tempat hajatan untuk nyumbang. Sudah menjadi kebiasaan, setiap ada hajatan besar, selalu ada mereka yang nyumbang.

-Bersambung...
Yogyakarta, 1 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membahagiakan Yang Masih Ada (Hidup)

Cara Mengolah Talas Agar Tidak Menimbulkan Gatal

Memilih Botol Minum Plastik Harus Cermat, Ini Tipsnya!