Pak Gun
sumber: freepik.com
Mendadak
aku tertegun ketika mendapati kondisi guru SMP ku dulu yang terbaring di
ranjangnya. Niat ingin tabah saat menjenguk beliau, bubar sudah. Nyatanya pun,
ini kali pertama aku merasakan keharuan yang parah saat menjenguk orang sakit.
Aku
masih ceria ketika berkumpul sembari menunggu teman yang juga ikut menjenguk. Bahkan
aku yang paling hbeoh untuk “membelanjakan” iuran kami. Uang yang kami
kumpulkan telah disepakati untuk membeli buah tangan untuk beliau. Kami berasumsi,
kalau dalam bentuk uang kami berikan, beliau pasti enggan menerimanya.
Sampai
di rumah beliau yang sepi, aku masih biasa saja. Seperti saat menjenguk orang
sakit biasanya. Sebelumnya aku pun sempat menjenguk salah satu tetanggaku yang
dirawat di rumah sakit setelah operasi pengangkatan platina di paha kanannya. Aku
biasa saja.
Tapi
kali ini berbeda.
Pak
Gun, panggilan untuk guru SMP, tepatnya guru seni musik yang kami jenguk sore tadi. Sepanjang ingatanku, Pak Gun adalah sosok yang ramah dan ceria. Bukan pula tipe guru yang kaku. Semua merasa senang diajar Pak Gun saat belajar seni. Beliau bisa seni rupa dan seni musik. Hebat pokoknya. Kami tak pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan selama diajar beliau selama tiga tahun. Berkat beliau, kami yang masih SMP sempat merasakan bagaimana memiliki grup band. Aku sendiri, senang bisa menjadi drummer di band kelompokku.
Kabar yang
sangat mengejutkan kami, katanya Pak Gun divonis mengidap kanker paru-paru
stadium 4. Sangat parah. Kronis. Kami pun ngebet
ingin menjenguk Pak Gun.
Alasan
kenapa aku biasa saja saat akan menjenguk Pak Gun adalah kata-kata teman lain
yang sdah menjenguk Pak Gun mengatakan bahwa Pak Gun masih terlihat “biasa saja”,
sehat, layaknya orang yang tidak terkena penyakit parah. Beliau masih bisa
diajak ngobrol panjang lebar. Beliau pun tak terlihat terpuruk, karena
penyakitnya. Beliau juga masih semangat untuk melatih anak didiknya yang akan
maju lomba FLS2N tingkat provinsi. Saat kamu datang, beliau menunjukkan print out panduan untuk latihan.
“Semangat
masih optimis. Tapi secara fisik... gara-gara kanker menyebalkan ini.”
Keceriaanku
hilang dalam sekejab begitu mendapati Pak Gun. Disatu sisi aku teringat kakek
dan nenekku yang dulu kurus sekali dan terbaring lemah diranjang karena
penyakit serius yang mereka derita. Persis. Penyakit serius itu berakhir karena
Allah SWT memanggil kakek dan nenek ke rumahNya.
Kedua
mataku “mbambangi”, berkaca-kaca saat
menyalami tangan Pak Gun. Hangat dan masih kuat menjabat. Tapi aku tak bisa
menyangkal betapa ganasnya serangan kanker terhadap tubuh Pak Gun. Sekalipun Pak
Gun menyambut dengan suka cita. Tanpa binar mengiba dan memelas di kedua mata
beliau.
Beberapa
menit sebelumnya saat kami masih di pekarangan rumah Pak Gun, aku sempat
tersenyum jail saat salah seorang temanku ingin masuk yang terakhir, karena
khawatir akan menangis. Ternyata, aku pun sama seperti dia. Air mata masih bisa
ku tahan agar tak menetes, apalagi mengalir. Tapi napasku agak tersendat oleh
ingus, sehinga aku menghirup dan menghembuskan udara dengan perlahan. Aku tak
mau kepergok menangis. Khawatir mengganggu “keasyikan” obrolan sore tadi.
Aku
mendadak bungkam dan tak kuasa menimbrung pembicaraan. Hanya menanggapi
sekenanya, saking aku tak percaya
kalau efek kanker yang dialami oleh Pak Gun sampai separah itu.
Sekitar
setengah jam kami, lebih tepatnya teman-temanku, mengobrol. Aku... nyatanya
hanya sangggup menyahutbeberapa kali. Itu pun ketika gejala tangisku sedikit
mereda. Sering ku palingkan pandangan dari Pak Gun. Takut air mataku lancang
menetes. Beberapa kali aku duduk gelisah untuk menghalau tangis.
“Tidak
ada penyakit yang bisa mematikan manusia. Yang bisa mematikan manusia hanya
Allah SWT. Kalau bisa sampai meninggal, itu karena waktu mereka sudah habis. Kalau
karena sakit, ya sakitnya itu hanya perantara saja. Tetap Allah SWT yang
mematikan. Allah SWT yang bisa memanggil sewaktu-waktu, entah itu karena
penyakit, kecelakaan, dan lain-lain.”
Kira-kira
begitu yang beliau sampaikan. Pak Gun senantiasa bersyukur. Sekalipun apa yang
tengah beliau dapatkan adalah penyakit parah. Beliau yang menolak untuk opname, bukan berarti beliau pesimis
untuk sembuh. Hanya saja, beliau seolah sudah menyadari bahwa waktu beliau akan
habis. Beliau menjalani dengan apa adanya saat ini. Semua pesan-pesan sudah
beliau sampaikan kepada anak dan istri. Entah nanti apa akhirnya... kalau
beliau bisa sembuh, bekerja dengan jalan baik dan senantiasa bersyukur adalah
hal yang akan beliau perjuangkan.
Tidak
terbesit dalam benakku untuk membayangkan apa jadinya kalau aku jadi beliau. Aku
hanya fokus pada beliau yang berusaha menampakkan bahwa beliau baik-baik saja. Berbanding
terbalik dengan kondisi fisik. Beberapa kali Pak Gun bergerak pelan –gelisah-
memiringkan badan, seolah mencari posisi yang nyaman. Disela-sela beliau bicara
panjang lebar, aku sadar sesuatu, pasti karena punggung beliau masih terasa
sakit. Apalagi beliau sering menahan batuk saat berbicara.
Beliau
pun sempat mengakui, sakit punggung pernah beliau rasakan sepanjang siang dan
sepanjang malam. Tidak bisa tidur karena rasa yang luar biasanya tidak nyaman
karena rasa sakit itu.
Sebelum
Pak Gun mengetahui kanker itu, beliau sering batuk dan sakit punggung. Batuk tetapi
tidak kunjung sembuh dan nyerinya sampai ke punggung. Keluhan nyeri dipunggung
juga dipikir hanya sakit punggung biasa. Tapi, rasa sakit itu sangat terasa
ketika sujud saat solat. Pak Gun masih bertahan.
Hingga
beliau memeriksakan ke rumah sakit. Beliau masih pede abis, menyetir seorang diri. Singkat cerita, beliau diberitahu
penyakit itu. Beliau mencari gejala dan apapun yang berhubungan dengan penyakit
itu di google. Beliau akhirnya tahu
dan beliau tetap mengucap “Alhamdulillah.” Sampai sekarang.
Semangat Pak Gun disela-sela sakitnya, sangat menyentuh hati. Mengharukan.
Apapun
akhir yang terjadi nanti, aku berdoa yang terbaik untuk Pak Gun. Apapun,
asalkan Pak Gun merasakan kenyamanan. Asalkan Pak Gun tidak lagi merasakan rasa
sakit itu. Pun aku sangat berharap Pak Gun bisa sembuh. Tapi aku juga takut
membayangkan kalau ternyata panggilan Allah SWT adalah akhir yang terbaik untuk
Pak Gun.
Yogyakarta,
28 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar