I Wanna Grow Old With You

 

ilustrasi - Carl & Ellie | https://cgsociety.org/ | by Miriam Raya 


Bisa dibilang, aku bukan penggemar grup musik legendaris "Westlife". 

Penggemarnya banyak, lagu-lagunya tak perlu diragukan lagi kadar keromantisasnnya. Bahkan kadar ketampanan para personil tidak luntur sejak tahun 1998.

Sempat sekitar tujuh tahun lalu, aku menggandrungi beberapa lagu Westlife. Itu pun lagu-lagu yang memang sudah hits. Termasuk lagu "Beautiful In White". Lagu yang indah. Tapi tidak membuatku ingin cepat nikah juga.

Lalu dipertengahan 2020. Ketika pandemi COVID-19 di Indonesia semakin mengganas, kantor memutuskan kebijakan untuk WFH full selama hampir 3 bulan.

Aku jadi sering streaming-an lagu lewat YouTube. Lalu ditengah kerandoman playlist-ku, muncul rekomendasi lagu "I Wanna Grow Old With You"-nya Westlife, di mana di dalamnya adalah cuplikan kisah romantid Carl dan Ellie.


      Ini link-nya https://www.youtube.com/watch?v=0LHmevWVvpc 


Aku tidak banyak komentar tentang kisah cinta mereka. Bahkan awalnya sudah kuabaikan rekomendasi video itu, karena aku tidak menonton film "Up".  Awalnya aku sama sekali tidka tertarik. Sampai akhirnya akhirnya luluh juga aku. 

Aku arahkan cursor laptop supaya bisa memutar video itu. Dan hasilnya, terkesan sampai detik ini.

Ya Gusti...

Di awal pemutaran perdana, biasa saja. Tapi sampai di tengah-tengah video, saat perjalanan hidup pasangan Carl dan Ellie sudah kelihatan alurnya, waduh... ambyar.

Tidak ada yang menaruh bawang di depan mataku, tapi mendadak mataku pedes

Saat Ellie tua sudah tak sanggup menaiki bukit yang biasa dia lalui bersama Carl, aku sudah tidak bisa lagi menahan laju air mata. Mendadak aku diserang tangis sesenggukkan sampai di akhir video. Aku tidak menyangka jika kolaborasi lagu Westlife dan cuplikan cerita Carl& Ellie, dampaknya bisa sedasyat itu buatku.

Ya, lirik dan perjalanan hidup penuh kasih pasangan Carl&Ellie memang perpaduan yang paripurna. 

Tapi di sisi lain. Lagu "I Wanna Grow Old With You" mengingatkanku pada mendiang Kakek dan Nenekku. 21 tahun hidupku, kuhabiskan bersama mereka. Sejak usia 3 bulan, aku kehilangan ibuku. Namun Tuhan sangat baik hati, mengizinkan kakek dan nenek mencurahkan peran tanpa batas limit sebagai orang tuaku di usia senja mereka. 

Singkat cerita, kisahnya mirip dengan Carl&Ellie. Sehidup semati. Bedanya, kakek nenekku tidak selalu mesra.

Memang, tak secara gamblang kakek nenekku menunjukkan kasih sayang satu sama lain selama hidup mereka. Tapi mereka tetap paket lengkap yang tak terpisahkan. Hari-hari terahir mereka di dunia tak akan aku lupa.


Tahun 2018

Aku masih ingat saat nenekku sakit parah dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Kakek tidak menemani di rumah sakit, karena jarak dari rumah ke rumah sakit sangat jauh. Juga, keterbatasan kendaraan yang kami punya. 

Kakek cukup legawa hanya dengan mengetahui keadaan nenek selama di rumah sakit dariku. Karena yang sering bolak balik rumah - rumah sakit. Sementara bude dan bibiku yang menginap di rumah sakit untuk menjaga nenek.

Saat malam-malam aku pulang, aku masih ingat. 

Kakek bilang padaku, "Aku selalu was-was tiap kamu pulang dari rumah sakit."

Itu ungkapan tersirat kekhawatiran kakek tentang keadaan nenek. Kakek takut ada kabar buruk datang a.k.a kabar bahwa nenek meninggal.

Nenek berhasil melalui masa-masa kritis di rumah sakit. Diperbolehkan pulang, meskipun fisiknya tidak sekuat dulu. Nenek yang biasanya lincah beberes rumah, nyapu halaman, nyari kayu bakar di kebon... saat itu hanya bisa terbaring di atas dipan. 

Untuk makan tak bisa ambil sendiri. Aku sebelumnya bahkan tidak pernah membayangkan, kalau setiap minggu aku harus pergi ke swalayan untuk membeli diapers khusus lansia. 

Nenek dirawat di rumah bibi yang jaraknya tak jauh dari rumah kakek. Setiap hari kakek tidak absen menjenguk. Tidur di lantai beralaskan tikar di samping dipan nenek. Tak banyak bercengkerama, karena nenek sudah kesulitan mendengar dan bicara dengan lancar.

Sekitar dua bulan berlalu, waktuku untuk menjalan kewajiban KKN dari kampus akhirnya tiba. Keadaan nenek belum banyak kemajuan. Meski nafsu makannya sudah sangat membaik dan sudah mulai "enak" diajak bicara.

Di satu sisi, aku tidak sabar akan menjalani kehidupan di desa orang. Satu atap dengan teman-teman KKN yang berbeda jurusan. Tapi di sisi lain, berat untuk pergi di saat keadaan nenek dan kakek yang sedang tidak baik-baik saja. 

45 hari masa KKN adalah pertama kali kepergian terlamaku dan terpisah dengan kakek-nenek. Kalau keadaan sehat, nenek pasti keberatan aku pergi. 

Di sela-sela kegiatan KKN, tak lupa aku menanyakan keadaan kakek nenek lewat bibiku. Selalu kabar baik dan melegakan yang aku terima dari bibi. 

Lalu suatu hari, aku memutuskan untuk pulang ke rumah untuk menengok keadaan nenek. Saat itu aku cukup lega, karena keadaan nenek semakin membaik setelah tiga minggu kepergianku. 

Tapi aku keadaan kakek yang membuatku kembali merasa jatuh. Keadaan kakek yang mulai mengkhawatirkan. Kakek sakit. Memang sudah lama ada benjolan besar di dada sebelah kiri kakek, tapi kakek hanya mau berobat ke pengobatan alternatif. 

Keadaan nenek pasti juga sudah sangat meresahkan kakek di titik puncak, sampai berpengaruh ke kesehatannya.

Dalam waktu yang tak lama, aku habiskan waktu berama kakek nenek.

Yang tidak disangkanya, hari itu adalah terakhir kalinya aku bertemu nenek, Tatapan kosong nenek hari itu sempat ku tangkap, tapi aku tidak mau berpikira macam-macam. Nenek pasti sehat. Tapi, Tuhan berkehendak lain...

Suatu pagi, hari jumat. H-1 hari terakhir KKN. 

Telpon dari bibi, mendadak membuatku kalut dan nangis sejadi-jadinya di pojokan. Menjauh dair keramaian. Tak lagi konsen pada agenda di mana seharusnya aku meliput pagelaran seni.

Dan yang membuatku sangat amat menyesal adalah aku tidak ada di sana saat nenek sedang berada di kondisi tidak baiknya. Aku tidak ada di sana di hari terakhir nenek. Seperti tidak setimpal dengan hari-hari yang kami lalui bersama selama 21 tahun, tapi tidak saling tatap di hari terakhir.

Apalagi kakek. Setelah 45 tahun lebih bersama, tapi tidak bisa saling sapa di hari-hari terakhir. Sakitnya kakek, membuat beliau tidak bisa jauh dari dipan. Duduk harus dibantu. Makan disuapi. Ke kamar mandi tentu harus dibantu. Hingga disediakan ember untuk memudahkan kakek buang air kecil.

Lantunan ayat suci dan ramai orang melayat pasti snagat meresahkan kekek. Apalagi detik-detik saat jenazah nenek akan dimakamkan.

Sakitnya kakek, juga tidak bisa membuat almarhum kuat untuk singgah di pusara makam nenek.

Dipan yang sebelumnya ditempati nenek selama sakit, akhirnya gantian dipakai kakek. Sisa diapers punya nenek, akhirnya dipakai kakek. 

Selang 10 hari kemudian, suatu siang saat aku siap-siap di kos teman untuk kuliah jam 13.00. Hari itu aku memang sengaja berangkat awal sekitar jam 09.00, karena ada keperluan menyelesaikan tugas. 

Sempat ku tengok kamar tempat kakek berada. Tidur kakek terlihat pulas. Kuurungkan niat untuk pamitan, khwatir menganggu istirahat kakek. 

Tapi itu yang buatku kembali sangat menyesal. 

Sekitar 15 menit sebelum jam 13.00, saat siap-siap menuju kelas. 

SMS masuk dari bibi. Kakek meninggal.


Sekali lagi, aku tak ada di sana saat orang paling berjasa dalam hidup, meninggal dunia.


Ditengah menahan tangis, aku telpon bibi. Raungan tangis bibi menyambut. 

Tak jadi lah aku masuk kelas. Aku putuskan pulang. Pikiran nyaris kosong dan menangis sepanjang jalan. Sialnya, jalan yang biasa kulewati mendadak diperbaiki. Jadi aku harus ambil jalur lain, jadi lebih jauh tentunya.

Sampai di rumah, sudah ramai orang. Masuk ke dalam, bibi masih menangis didekap kerabat kami yang berusaha menenangkan. Ku intip kamar kakek. Di atas dipan, kakek sudah membujur kaku ditutup kain batik.

Padahal, beberapa jam sebelumnya kakek masih ada. 

Piranti untuk pengajian 7 harian nenek seperti buku yasin, bahkan masih ada di ruang tamu. Baru kemarin bude kembali ke Tangerang, karena merasa bahwa kakek akan baik-baik saja.

Dalam 10 hari, kakek dan nenek menghadap Tuhan. Semasa yang aku ingat, kakek nenek memang bukan golongan pasangan yang selalu mesra. Tak jarang mereka berbeda pendapat. Baik kakek maupun nenek juga suka ngambek. 

Kakek dan nenek tidak pernah berjauhan. Saat mengunjungi tempat bude di Tangerang, mereka harus sama-sama. 

Tapi sayang, aku belum sempat membalas apa yang sudah mereka berikan untukku.

Sekian tahun, mereka bersama yang selalu ada dan menjadi alasanku untuk pulang ke rumah. 

Mereka yang marah kalau aku cuma makan sedikit.

Mereka yang selalu tanya, "Mau sahur pakai apa?", saat puasa. 

Mereka mendukungku penuh selama sekolah. 

Setiap pagi menyiapkan sarapan. Tak absen sedia nasi dan lauk di atas meja makan.

Mereka menungguku di tengah kantuk, setiap kali aku harus di kampus sampai malam karena kegiatan organisasi.

Mereka menjadi saksi belajar gila-gilaanku biar lolos tes SBMPTN. Tapi mereka tidak bisa ada waktu aku wisuda.

Belum sempat mereka melihatku berada di titik ini, saat aku sudah bekerja. Padahal dulu, mereka yang mengkhawatirkanku akan kerja jadi apa. Apakah aku bakal dapat kerja, di saat aku memilih kuliah. Sedangkan teman-teman sepantaran sekitar rumah memilih langsung bekerja setelah lulus es em a.

Aku juga tidak tahu sampai kapan, kenangan akan kakek nenek tidak membuatku menangis. Aku sudah ikhlas, serius. Kakek dan nenek selalu ada di setiap doa salatku. Saat teringat mereka, aku pasti berdoa untuk mereka. Walaupun ada sedikit drama diri sendiri yaitu mewek.


Aku juga tidak tahu sampai kapan, aku tidak menangis setiap kali mendengar lagu "I Wanna Grow Old With You".





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Formasi Pie Susu Khas Bali Ternyata Blasteran Hongkong-Portugis

Meski Pahit, Mengkudu Ternyata Bisa Membantu Meningkatkan Stamina Tubuh

Kerajinan Pahat Batu Muntilan Cocok Menjadi Oleh-Oleh Anti Mainstream