Apakah Mereka Malaikat?

Dua tahun lalu, waktu ambil data untuk skripsi, aku pilih metode wawancara indepth. Aku harus menemui narasumberku langsung di Jakarta agar wawancaranya bisa berjalan lebih nyaman dan aku bisa menggali informasi yang kubutuhkan secara lebih dalam. 

Sebagai informasi, para narasumberku adalah wartawan di salah satu media nasional dan kebetulan tempat magangku. Jadi, bisa lebih memudahkanku mengenai perizinan. 

Dari awal pembuatan skripsi, entah kenapa aku tidak ragu sedikitpun jika harus harus mengambil data ke luar kota. Apalagi Jakarta yang jaraknya ratusan kilometer dari Jogja. Satu hal yang harus menjadi pertimbangan bagiku dulu adalah perkara ongkos. 

Bagi mahasiswa kelas bawah secara perduitan sepertiku, harusnya itu menjadi masalah besar. Jika bisa ambil data tanpa mengeluarkan ongkos, kenapa tidak dilakukan? Beberapa temanku juga ada tidak mau ribet-ribet ambil data, yang penting datanya sesuai kebutuhan. Pasti skripsi bisa selesai.

Tapi entah kenapa, waktu itu aku sebegitu yakinnya bisa dapat narasumber sesuai topik skripsiku. Dosen pembimbingku juga sampai bertanya padaku untuk memastikan, "Yakin bisa dapat wawancaranya ya? Udah izin ke mereka?". Begitu tanya beliau.

Sesuai rencana, alhamdulillah, aku berhasil wawancara dengan semua narasumberku. Bahkan nambah satu orang lagi dan itu bisa memperkaya dataku. Total narasumberku ada sembilan orang. Alhamdulillah lagi, mereka semua baiikk banget. 

Mungkin pertanyaan dariku waktu itu bagi mereka itu terlalu teoritis dan idealis. Secara mereka sudah bertahun-tahun di lapangan sebagai wartawan. Pasti ada banyak hal yang mereka dapatkan bukan sekedar teori saja.


Aku bersyukur banget, semua narasumberku berkenan membagikan pengalaman mereka sebagai wartawan "di jalan yang lurus", bukan wartawan bodrek atau abal-abal yang suka menulis clickbait. Dari cerita mereka pula, aku mendapatkan perspektif baru tentang wartawan bodrek dan clickbait. 

Singkat cerita, aku harus balik lagi menemui salah satu atau dua narasumberku. Lebih tepatnya, mengikuti kegiatan liputan mereka. Itu aku lakukan demi memenuhi salah satu metode pengambilan data, yang mengharuskan aku mengamati kegiatan narasumberku saat bertugas.

Hal yang membuatku merasa kok waktu itu bisa gitu ya adalah ketika aku bertemu orang-orang yang membantuku di pengambilan data keduaku. Orang-orang adalah orang asing yang tidak pernah kutemui. Tapi berkat rahmat Allah Yang Maha Segalanya, mereka juga termasuk orang-orang yang terlibat dalam proses pengerjaan skripsiku.

Waktu itu aku memutuskan untuk numpang barang beberapa hari di kos temanku yang kerja di salah satu intansi keuangan di Bogor. Sudah dia sebutkan alamat dan arahnya bagaimana, aku mantab berangkat. 

Aku belum pernah ke Bogor sebelumnya. Apalagi naik bis dan temanku juga belum pernah naik bis waktu berangkat ke Bogor itu.

Jadilah, berbekal nama tempat pemberhentian bis yang terdekat dengan kos temanku, aku nekat berangkat. 

Alasan kenapa aku memilih numpang di tempat teman adalah aku tidak ingin mandiri dan tidak merepotkan bapakku yang kerja dan ada tempat tinggal di Tangerang.

Pada hari H keberangkatan dan harus transit di Wates, aku bertemu dengan bapak-bapak berkacamata hitam. Biasalah, sesama penumpang biasanya ngobrol sebentar untuk mencairkan suasana. Apalagi yang satu bis dengan kita.

Tak begitu ingat obrolan seperti apa, tapi bapak-bapak itu ramah sekali. Kuceritakan sedikit, tujuanku ke Bogor. Bapak itu akhirnya yang menjadi pemanduku. Beliau sudah sering bolak-baik Jogja-Bogor. 

Sampai di Bogor masih pagi buta, sempat aku bingung juga. Harus naik apa aku dari terminal bis ke kos temanku? Ojek online pasti belum ada yang aktif. Ojek pangkalan, aku takut kemahalan dan gak bisa nawar.

Mana ada kejadian bis harus ganti ban di tengah jalan segala dan mengharuskan penumpang yang tersisa, pindah ke bis satunya. Untungnya, bapak berkacamata tadi akan turun di tempat yang sama denganku.

Alangkah baiknya lagi bapak itu. Begitu sampai di pemberhentian bis terakhir, bapak itu langsung mengarahkan aku untuk naik angkot saja. Aku bingung lagi, "Beneran bisa sampe gak ya?", tanyaku dalam hati.

Bapak kacamata hitam turut membantuku mendapatkan angkot. Bahkan memilihkan duduk di samping sopir agar tidak berdesakan dengan penumpang lain yang barang bawaannya banyak. Mengingat jam-jam segitu adalah waktunya orang-orang dagang ke pasar.

Terakhir yang kuingat, aku hanya bisa melongokkan badan ke luar jendela untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak berkacamata hitam itu. Tak sempat aku tanya siapa nama bapak itu.

Akhirnya, aku betulan bisa sampai ke tempat temanku dengan selamat. Aku berharap, siapapun bapak itu dan di manapun beliau berada, semoga beliau selalu dilindungi Allah dan sehat selalu. Dilancarkan rezekinya, apalagi di masa pandemi yang terasa mencekik ini.

Orang baik yang selanjutnya adalah temanku yang punya kos, tentu saja. Sebagai anak baru PNS sekaligus perantau, dia sudah baik sekali bersediau kurepoti. Alhamdulillah, saat ini kehidupan dan karis dia semakin lancar. Sepertinya betah juga dia ditempatkan di Bontang. Semoga dia sehat selalu dan lancar rejekinya, tentu saja.

Waktu itu zamannya rusuh-rusuh di KPU pusat menjelang pemilihan orang 01 di negeri ini. Kebetulan narasumber yang akan aku ikuti, ada wawancara dengan Ketua KPU. Tapi sayangnya, tidak dapat. Sepertinya bapaknya terlalu sibuk.

Lama aku berada di depan Kantor KPU Pusat. Duduk-duduk di halte transjakarta. Tepat didepanku ada ring duri, atau apalah itu penyebutannya. Banyak juga rombongan polisi yang masih kinyis-kinyis berjaga di sekitar kantor KPU.

Kurang kerjaan memang, tapi aku pengen merasakan suasananya saja. 

Sampai aku bertemu dengan perempuan, sekitar umur 30an, penampilannya tomboy. Kami ngobrol, lebih banyak aku yang ndengerin, sih. Tidak jauh-jauh tentang pemilu dan segala kerusuhannya. Daripada sotoy, jadi aku hanya nyimak saja. Aku panggil beliau Bu Devi -bukan nama sebenarnya-, beliau ternyata mahasiswa S2 hukum di UI. Dia datang ke KPU, tadinya habis ketemu teman, katanya.

Semakin sore, akhirnya kami memutuskan untuk cabut. Bu Devi juga minta tolong kepadaku untuk memesankan ojol ke kos-nya, karena paketan internetnya habis.

Singkat cerita, waktu itu aku beranikan diri untuk numpang di kos Bu Devi supaya lebih fleksibel. Pikirku, kos-nya ada di Jakarta dan bisa lebih cepat aku ke tempat observasiku. Dibanding jika aku berangkat dari kos temanku, bisa 2 jam naik KRL itu pun baru sampai stasiun KRLnya saja, belum sampai lokasi.

Puji Tuhan, Bu Devi menerimaku dengan baik hati. Selama tiga hari tiga malam aku numpang di kos Bu Devi. Sembari menunggu kabar dari salah satu narasumberku mengenai lokasi liputan, aku cicil mengolah data skripsi di kos Bu Devi.

Beliau bahkan suka membelikanku takjil. Waktu itu bulan puasa dan beliau sedang datang bulan, jadi tidak bisa puasa.

Satu lagi aku bertemu dengan orang baik.

Bu Devi orangnya cukup aktif di status WA. Walau menurutku agak gimana gitu, beliau suka update tentang hal-hal yang berbau "NKRI". Hmm, mungkin karena beliau orang hukum.

Sekarang, aku tidak tahu lagi kabar Bu Devi. Kucoba beberapa kali ku kontak, tapi WA beliau centang satu. Somoga beliau baik-baik saja.

Jika beliau masih aktif, sekarang bisa menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk kembali bertemu. Bagaimanapun, beliau menjadi salah satu orang yang menyelamatkan hidup saya. Kalau waktu itu aku tidak bertemu Bu Devi, entahlah. Apakah aku akan selamat sendirian di kota orang? 

Aku tak menyangka bertemu dengan orang-orang asing nan baik hati di proses pengerjaan skripsiku. Tidak pernah kenal sebelumnya, loh. Tapi mereka bisa sebaik dan setulus itu. 

Temanku yang kutumpangi kosnya, juga sama baiknya. 

Bersyukur sekali aku dipertemukan dengan mereka.

Apakah mereka malaikat?



Jakarta, 29 Juli 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Formasi Pie Susu Khas Bali Ternyata Blasteran Hongkong-Portugis

Meski Pahit, Mengkudu Ternyata Bisa Membantu Meningkatkan Stamina Tubuh

Kerajinan Pahat Batu Muntilan Cocok Menjadi Oleh-Oleh Anti Mainstream