Ikut Rapat Wali Murid Sekolah Luar Biasa (SLB)

 Aku tidak ingat tepatnya kapan, dulu aku pernah mewakili bibiku untuk menghadiri rapat orang tua murid di sekolah anaknya. Bibiku tidak bisa hadir karena harus mengurus sawah, aku lupa juga waktu itu menanam apa. Cabe atau bawang merah, ya? Atau matun*, ya? hehehe

Terdenger biasa saja bukan?

Sebenarnya tidak biasa, karena sepupuku sekolah di sekolah luar biasa (SLB). Sekolahnya anak-anak berkebutuhan khusus.

Sepupuku, perempuan berusia dua tahun di atasku. Tapi karena berkebutuhan khusus, tepatnya keterbelakangan mental, jadi dia saat itu masih kelas 2 SMP LB. Yang sekolah di sana juga rata-rata kelas menengah ke bawah.

Waktu itu pertama kalinya aku membaur di SLB itu. Biasanya aku hanya sampai di depan gerbang saat mengantarkan sepupuku sekolah.

SLB itu juga tidak besar dan "maju". Satu sekolah itu diisi tak lebih dari 30 siswa dari kelas SD sampai SMP.

Rapat kalau itu mengumpulkan semua orang tua atau wali murid, karena akan diadakan field trib. wkwkwk ku pakai bahasa yang sedikit gaul. 

Awalnya aku membayangkan kalau aku akan merasa tidak nyaman di sana dan mungkin kasarnya ... jijik. Ya Gusti, jahat banget aku. Mengingat pasti di sana banyak anak-anak "aneh" yang gak lebih baik dari sepupuku. Apalagi aku tak kenal mereka.

Tapi melihat wajah-wajah optimisme wali murid lainnya, rasa tidak nyamanku luntur. Ini sungguhuan. Yeah, mereka pasti ingin seperti wali murid normal lainnya yang hadir di acara pertemuan wali murid di sekolah anaknya. Meskipun, keadaan anak-anak mereka tidak sempurna.

Ada beberapa bapak-bapak datang dengan sepedanya. Pasti bapak-bapak itu sangat berjiwa besar dan baik dalam kesehariannya. Mereka (termasuk ibu-ibu) semoga diberkahi Tuhan karena menerima dan merawat titipan Tuhan yang unik dari yang lainnya.

Para wali murid juga antusias ketika sesi tanya jawab. Apa saja yang harus dilakukan dan disiapkan. Ada juga yang bertanya, apakah boleh kalau ada orang tua yang ikut.

Di tengah-tengah suasana hangat rapat, sesekali ada salah satu murid yang iseng keluar masuk. Cukup berisik juga dia sambil iseng memainkan mic yang sedang tidak dipakai.

Melihat itu, apakah ada yang marah? Tidak ada.

Aku tertegun dan salut. Bahkan ibu pemimpin rapat yang kelihatan galak, ternyata hanya menegur anak kecil itu dengan nada yang sangat mengayomi. Tidak ada sedikitpun bentakan.

Ku rasa, wali murid yang lainnya juga maklum. Jadi mereka tidak merasa terganggu. Malah tertawa-tawa geli saja.

Aku juga kagum dengan ketelatenan, kesabaran, dan ketulusan para guru. Tidak banyak. Aku lupa jumlahnya berapa. Tapi aku pikir mereka butuh satu atau dua tambahan tenaga lagi untuk mendampingi murid-murid belajar di sekolah itu.

Beberapa guru juga ada yang masih muda. Perempuan. Mungkin hanya beberapa tahun di atasku. Dengan anak berkebutuhan khusus saja mereka setulus dan sesabar itu. Bagaimana dengan anak sendiri, ya? Wah, kupikir mereka tergolong sebagai perempuan yang istriable. 

Sayangnya, kini aku tidak tahu lagi bagaimana suasana di sekolah sepupuku itu. Aku tidak lagi pengantar sepupuku tiap pagi. Selain pandemi, aku juga sedang jadi anak rantau. 

Semoga mereka selalu sehat dan sekolah itu bisa terus melanjutkan tugas mulianya.


*matun: kegiatan mencabuti rumput liar atau gulma di sekitar tanaman padi



Jakarta, 20 Agustus 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Formasi Pie Susu Khas Bali Ternyata Blasteran Hongkong-Portugis

Meski Pahit, Mengkudu Ternyata Bisa Membantu Meningkatkan Stamina Tubuh

Kerajinan Pahat Batu Muntilan Cocok Menjadi Oleh-Oleh Anti Mainstream